Manusia boleh merencanakan, akan tetapi Tuhan-lah yang menentukan. Bunda mana yang tidak menginginkan hamil dan melahirkan dengan proses yang normal. Dari sisi manapun pastilah menguntungkan dan menyenangkan dengan metode melahirkan/persalinan yang normal, enggih to mas-mbak?
Dari biaya pastilah murah, dari segi waktu pastilah relatif singkat, dari sisi kesehatan (penyembuhan, pemulihan ibu nifas, dan tumbuh kembang adik bayi) pastilah lebih cepat.
Rencananya sih kami akan melahirkan di Bidan saja, namun berhubung volume kandungan di bawah normal, atau berat-badan bayi dalam kandungan di bawah normal, maka menuntut Bu Bidan untuk merujuk kami ke Rumah Sakit. Mau tak mau, ya menurut Bu Bidan saja.
Dan inilah cerita saya sewaktu proses Persalinan/melahirkan isrti untuk anak kami yang ke dua di RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL.
Hari senin, 5 Mei 2014 saya mengantar Istri periksa rutin kehamilan 2minggu sekali di Bidan Handayati. Saat itu usia kehamilan tepat 39minggu/9bulan lebih beberapa hari. Sebenarnya 2hari sebelumnya, istri sudah mulai merasakan perut mulas dan kencang-kencang. Namun di karenakan kami nilai belum waktunya, hanya di rasa sambil lalu saja. Setelah di periksa oleh mbak asisten bidan(asbid), dan diberi obat kami-pun pulang, dan di sarankan kembali dalam waktu 3 hari bila masih terasa sakit. Namun setelah pulang, beberapa waktu di rumah, rasa sakit mulas dan kencang-kencang tak kunjung hilang, malah terasa lebih sering dan lama. Tidak sampai 3hari sesuai yang dianjurkan oleh mbak asisten bidan(yang harusnya hari Kamis), kami kembali lagi memeriksa ke Bidan Handayati pada hari Rabu, 7 Mei 2014. Jam 8pagi kurang beberapa menit, kami tiba. Kebetulan Bu Bidan Handayati masih dirumah, baru akan berangkat dinas ke RSUD. Lalu beliau memeriksa istri yang semakin merintih menahan rasa mulas dan kencang-kencang. Dan setelah diperiksa jalan bayi, ternyata sudah buka 1(satu). ” Ini sudah waktunya persalinan” kata beliau. Dengan usia kehamilan 39+2(39minggu, 2hari), dan dirasa usia telah matang. Kami disarankan untuk mempersiapkan perlengkapan persalinan. Namun karena seperti yang saya bilang di atas bahwa kondisi kehamilan istri dari sisi berat-badan kurang atau di bawah normal. Setelah beberapa kali dilakukan pemeriksaan yang intensif dengan Ultrasonography(USG) kondisi hamil berat badan istri tidak/kurang ideal, atau dibawah normal. Jika diprediksi dan di hitung-hitung oleh mbak asbid, berat badan janin dalam kandungan kurang dari 2kg. Demi kebaikan semua, maka kami dirujuk untuk melakukan proses persalinan/kelahiran di Rumah Sakit saja. Hati kami bebarengan terasa ‘down’ saat itu. Kata Rumah Sakit seakan menjadi ‘momok’ bagi kami, terlebih bagi istri saya. Seakan terbesit banyak hal beban berat yang akan kami tanggung, tentang persalinan cesar, biaya yang tinggi, ketidak tauan apa-apa tentang Rumah Sakit,dan lain-lainnya. Namun saya pasrah, dan menurut apa kata bu Bidan, saya coba menenangkan hati istri dan dengan berat hati Kamipun menyanggupinya, walau istri dari awal ingin sekali melahirkan di bidan saja, tapi apa boleh buat, bu bidan juga tidak mau ambil resiko. Akhirnya kami dirujuk ke RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL, sebagai satu-satunya Rumah Sakit Negeri yang berada di bawah naung wilayah Kabupaten Bantul.
Entah apa ya di balik Rumah Sakit, banyak rumor miring yang mengatakan kalau pelayanan di RSUD kurang begini dan begitu. Tapi saya tidak peduli dengan itu semua. Yang penting kita baik sangka saja. Belum tentu rumor/gosip miring itu benar adanya. Alhamdulillah di tempat periksa Bidan Handayati, segala prosedur persiapan rujukan yang bersifat administratif telah dipersiapkan dengan baik. Juga perlengkapan medis telah ada. Dan mereka(pihak Bidan Handayati)-pun tidak memaksa. Mereka menawarkan mau menggunakannya silahkan, mau beli sendiri juga monggo. Dan saya mending pasrah dan memilih untuk dipersiapkan oleh pihak Bidan Handayati, jadi perlengkapan medis persalinan yang meliputi:
-Perlak khusus untuk persalinan
-Pembalut ibu nifas, dan
-Kendil,
Telah dipersiapkan, dan kita tinggal mengganti uang saja, yang relatif murah.
Sembari menunggu bu Bidan Handa-yati memberi kabar kepada kami, saya di minta mengambil perlengkapan perawatan persalinan pribadi yang meliputi:
-Beberapa pakaian bayi
-Selimut bayi
-kain lebar(kain jarik-orang jawa)
-perlengkapan mandi bayi & ibu.
Perlengkapan tadi biasanya memang telah dipersiapkan sebelumnya karena termasuk salah satu anjuran prosedur persiapan persalinan. Jadi saya tinggal mengambilnya saja, sementara istri tetap tinggal di ruang istirahat Bidan. Diiringi dengan perasaan yang campur baur, antara senang/bahagia akan lahirnya sang buah hati yang kedua, kecemasan akan kondisi istri, biaya yang harus kami tanggung, dan keribetan-keribetan lainnya, semua jadi satu di pikiran saya. Hanya selang beberapa menit(karena jarah antara rumah kami dan bidan Handayati hanya sekitar 2-3km saja), saya telah tiba kembali di Bidan, dengan membawa tas yang berisikan perlengkapan persalinan tadi dan beberapa lembar uang. Hari itu waktu terasa berputar lambat sekali, bak jalannya siput. Apalagi sesekali tempo rintihan kecil sang istri menahan mulas dan kencang-kencang perutnya, seakan menghentikan waktu.
Menit-menit berlalu, waktu telah berganti jam. Bu bidan Handa-yati belum memberi kabar kepada kami. Kami mencoba bersabar menunggu, dengan diiringi keresahan kami. Kebetulan yang periksa di Bidan, pagi itu sepi, jadi mbak asisten bidan terfokus pada kami. Keadaan istri secara kontinyu dicek, tekanan darah istri dan denyut jantung janin terpantau dengan baik. Mbak asbid pun selalu mengingatkan kami untuk tetap tenang.
Selang beberapa waktu kakak dan tante saya datang, setelah beberapa waktu sebelumnya telah saya kabari. Dengan kedatangan mereka, membuat kami merasa agak lebih tenang. Hari mulai siang, bu Bidan Handa-yati yang juga bertugas dinas di RSUD sana, belum menyuruh kami datang kesana, “belum ada kamar untuk kami,” kata beliau. Hingga sore menjelang, masih belum ada kabar dari Bu Bidan Handa-yati. Untuk sementara waktu, kakak dan tante pulang dulu, untuk mengurus rumah mereka masing-masing. Kami tetap bersabar, dengan iringan istri menahan rasa sakit. Sementara suasana tempat periksa Bidan Handayati mulai ramai. Ibu-ibu hamil dan balita datang silih berganti untuk periksa. Mbak asisten bidan pun telah berganti, bu Bidan Handayati telah pulang dinas dari RSUD, dan kembali memeriksa keadaan istri, memeriksa jalan bayi, hasil masih sama, masih buka 1. Namun rasa nyeri mulas, dan kencang-kencang yang dirasa istri kian menjadi dan intensnya kian sering, tiap setengah jam rasa sakit itu datang dalam durasi lama/3menit-an, tapi cairan di jalan bayi tidaklah banyak, hanya sedikit.
Saya pernah dengar bahwa kriteria Persalinan ada dua macam;
-persalinan tipe basah dan
-persalinan tipe kering(orang jawa menyebutnya -wot kidang).
Nah, tipe persalinan istri saya yang kedua kali ini adalah kriteria tipe persalinan kering, dulu waktu melahirkan anak yang pertama juga begini, menurut banyak info yang saya peroleh, tipe ini memang begitu terasa menyiksa. Memang semua persalinan terasakan begitu amat menyakitkan, bahkan ada yang mengatakan proses persalinan/kelahiran adalah proses mati-matian, proses perjuangan titik penghabisan. Walaupun ada juga sebagian kecil, ibu melahirkan tidak terasa sakit sama sekali, terasa selayak ingin BAB saja. Ah Andai istri saya begitu ya.
Petang berlalu, kakak dan anaknya, juga anak saya datang menemani. Beberapa saat kemudian, sekitar pukul 7malam, bu Bidan Handayati mengabarkan bahwa RSUD telah siap menerima kami, lalu kami diminta siap-siap. Selang setengah jam, istri dan kandungan kembali diperiksa ulang, dan keadaan normal. Setelah menyelesaikan administrasi di Bidan, kami pun berangkat. Istri dan perlengkapan persalinan diantar mobil pribadi milik bu Handayati, sedang saya mengikuti dibelakangnya dengan sepeda motor. Sedang kakak, keponakan dan anak pertama saya disuruh pulang saja, “sitkon Rumah sakit tidak layak untuk anak-anak”, saran dari bu Bidan. Tepat pukul 8malam, kami tiba di IGD RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL. Suasana Rumah Sakit begitu riuh ramai, begitu pula Ruang IGD, seakan sibuk dengan urusan masing-masing. Begitu istri tiba langsung disambut perawat, dan menggunakan kursi roda dorong istri dan langsung dibawa masuk ke ruang Instalasi Gawat Darurat, sebuah layanan Rumah Sakit guna melakukan tindakan medis yang sifatnya mendadak dan darurat.
Setelah menurunkan barang-barang perlengkapan persalinan, saya disuruh mendaftarkan istri saya di tempat pendaftaran IGD. Selain didata, saya juga diminta untuk mengisi beberapa isian formulir pendaftaran.
Sesi pendaftaran telah selesai. Lalu saya diminta menunggu istri di dalam ruang IGD tersebut. Saya harus benar-benar fokus mengikuti mbak suster yang berbaju warna biru tadi. Dengan ribet barang bawaan yang saya tenteng di tangan kanan dan kiri, saya mengikuti mbak perawat yang mendorong kursi roda istri saya menuju sebuah ruang khusus periksa persalinan masih di dalam IGD. Suasana riuh masih terasa di ruang IGD, sepertinya banyak pasien korban kecelakaan lalu-lintas(laka lantas). Sambil sedikit nyanyi-nyanyi sembari di iringi pertanyaan- maupun pernyataan lucu, mbak perawat memberi layanan pada kami, jadi membuat cair suasana, dan sedikit mengurangi rasa tegang kami. Kembali keadaan istri diperiksa, jalan bayi istri diperiksa oleh mbak asbid tadi, telah buka 2, saya juga tidak paham maksudnya bagaimana, yang jelas kata istri, kalau waktu diperiksa rasanya sakit banget. Setelah selesai diperiksa, mbak perawat memberitahukan bahwa, istri harus opname/rawat inap, karena sudah siap melahirkan dengan usia janin sudah matang. Saya-pun ya hanya mengangguk, mengiyakan. Setelah saya setuju untuk rawat inap, lalu dipasanglah selang infus di pergelangan tangan istri, dan saya disuruh antar berkas diagnosa ke dokter di bagian depan IGD.
“Pokoknya panggil nama dokternya saja, yang keras ya.” kata mbak asbid/perawat tadi. Benar juga, sibuk sekali dokter-dokter di dalam ruang jaga/kontrol IGD, satu dokter saja melayani beberapa pasien. Dengan petunjuk mbak suster/perawat tadi, saya berhasil menyerahkan berkas diagnosa istri. Menunggu hasil diagnosa, saya disuruh kembali ke ruang periksa istri saya tadi. Kembali dan tak henti-hentinya saya mencoba memberikan semangat dan rasa ketenangan untuk istri saya. Setelah beberapa saat, mbak perawat yang ramah dan lucu tadi memanggil nama istri saya. Kembali beliau menanyakan perlengkapan persalinan. Setelah dirasa komplit, dan dan saya disuruh membawa semua perlengkapan, kami diantar ke Ruang Bersalin yang berada di dalam Rumah Sakit. Dengan kursi roda,mbak perawat mengantar istri, dan saya menguntit dibelakangnya. Keadaan tenang didalam area Rumah Sakit, kamipun memasuki Ruang Bersalin, setelah proses serah terima antara suster/perawat tadi dengan perawat Bersalin, istri di masukkan ke sebuah kamar khusus bersalin. Kamar yang hanya di sekat kain hijau tebal itu, terdiri sekitar 5 kamar. Suasana riuh kembali terasa, mbak-mbak suster saling ngobrol santai kesehariannya, sedang rasa mencekam mendera bagi kami. Kami berada di posisi ditengah-tengah kamar, kanan dan kiri ada pasien yang sama, ibu-ibu buncit perutnya yang akan melahirkan. Dikamar ada photo adik bayi yang baru lahir namun terlihat bersih berada di dada ibunya yang terbuka. “Ups..jika diluar ruangan ini pastilah disensor” bathin saya. Tapi tentu tidak untuk ruangan ini, sebagai lelaki yang menemani istri, saya jamin libido pasti akan hilang di Ruang Bersalin ini. Jam dinding tepat di atas kamar kami menunjukkan pukul 9malam. Keadaan istri masih intens merasakan mulas dan kencang-kencang. Perawat Ruang Bersalin mulai memeriksa keadaan istri. Denyut nadi, tekanan darah istri, detak jantung bayi diperiksa, keadaannya normal. Memberikan sedikit ketenangan pada kami. Beberapa saat kemudian, ada seorang ibu berbaju motif bunga warna coklat, berkaca-mata agak tebal dan berhijab warna krem yang ternyata dokter spesialis kandungan, memeriksa dengan alat USG, ditemani satu perawat dan 2 perawat berbaju putih(adik-adik yang sedang praktikum). Dengan seksama, bu dokter itu memeriksa isi perut istri, cukup lama juga. Mereka kadang ngobrol dengan bahasa medis, yang jelas saya tidak paham. Saya tidak tau apa-apa, hanya bengong saja. Takut dan sungkan, jadi tidak tanya-tanya juga. Ah biarkan beliau-beliau bekerja, kami manut saja.
Setelah pemeriksaan dokter dirasa cukup di tandai dengan print out USG, dokter tersebut keluar dari ruang kami,dengan alat USG dibawakan adik-adik praktikum tadi. Kembali perawat menanyakan perlengkapan persalinan. Wah penting banget ternyata ya, suatu persiapan itu. saya tidak membayangkan bila malam-malam harus membeli;
-Perlak khusus persalinan
-Pembalut khusus ibu nifas, dan
-Kendil
Harus beli dimana coba? Dan Meninggalkan istri sendirian diruangan bersalin lagi.
Saran saya untuk saat-saat seperti ini, persiapkanlah segala perlengkapan dengan baik dan ajaklah setidaknya satu orang lagi (walaupun diluar ruangan, karena yang wajib menemani waktu persalinan di Ruang Bersalin hanya 1 orang saja.)
Pukul 10malam, Kembali istri didera rasa sakit yang tak tertahankan. Rasa mulas, kencang kencang selalu datang setiap 15menit, mbak perawat menyarankan bila rasa mulas dan kencang-kencang datang, untuk mengatur pernapasan, ambil napas dari hidung, lalu buang napas lewat mulut. Bila masih terasa, istri disuruh untuk memiringkan badan.
Waktu seakan berjalan lambat, detik dan menit begitu terasa lama. jam-jam terberat bagi kami, terutama sang istri. Merintih menahan rasa mulas dan kencang-kencang perutnya.
Suasana sibuk ruang bersalin benar-benar terasa, entah sudah berapa ibu terbantu melahirkan oleh ibu-ibu/mbak-mbak perawat-perawat dan, entah sudah berapa banyak bayi terbantu terlahirkan oleh ibu/mbak perawat yang cekatan malam itu .
Pukul 11, pukul 12, jam 1 dini hari, waktu-waktu yang di hiasi susana ngeri dan bahagia, Rasa Ngeri timbul saat mendengar dari ruang sebelah seorang ibu merintih, mengerang saat mengejan mati-matian untuk mengeluarkan janin dari rahimnya, Rasa Bahagia saat mendengar dari ruang sebelah tangisan bayi yang baru saja dilahirkan.
Prosedur pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi isri, detak jantung janin dilakukan setiap 30menit sekali, sedangkan pemeriksaan jalan bayi prosedur-nya dilakukan setiap 4jam sekali. Jadi semua menunggu proses bersalin berjalan normal. Dan saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, disaat istri merengek meminta dipanggilkan mbak perawat, berulang kali saya menipunya.
Saat sakit datang ya hanya disuruh atur pernapasan, tarik napas panjang lewat hidung, lalu keluarkan lewat mulut. Jika tak tertahankan kembali disuruh memiringkan badan. Tindakan itu terus menerus berulang-ulang kami lakukan, dengan modal pengalaman persalinan yang pertama, saya mencoba mengarahkan istri, untuk tidak mengejan bila belum waktunya atau bila belum disuruh bu perawat.
Pukul 2 dini hari, entah sadar atau tidak istri memanggil keras bu perawat, bahwa istri sudah terasa mengejan sendiri, terasa ingin buang air besar. Dengan sigap beberapa perawat menghampiri ruang kami. Setelah di cek benar adanya bahwa istri benar hampir melahirkan, cairan mengalir, tanda air ketuban telah pecah. Segala persiapan dilakukan, prosedur dan posisi mengejan secara singkat diajarkan oleh perawat pada istri, dan saya membantu mengarahkannya. Detik-etik menegangkan dimulai, saat dirasa semua telah siap, sang istri mulai diarahkan untuk mengejan, hanya benar-benar disaat yang tepatlah istri harus mengejan, yaitu saat perut dirasa mengeras. Karena jika tidak mengindahkan, maka akan sia-sia saja melepaskan tenaga. Posisi mengejan-pun juga harus benar-benar tepat, agar lebih efektif dan efisien. Saat ini yang dirasa istri hanyalah terasa mengejan dan mengejan, dan hanya memilih waktu yang tepatlah yang akan membawa keberhasilan. 15menit perjuangan awal, posisi mengejan miring, agak susah juga istri konsentrasi dengan posisi mengejan, tak henti saya membantunya. Dan posisi mengejan badan miring Kiri benar-benar memberi jalan lebar sang jabang bayi. Dengan bijak perawat menyuruh istri istirahat sejenak. Ibarat pertandingan sepak bola, turun minum bagi para pemainnya. Begitupun dengan kami, istri saya disuruh minum dulu, raut muka wajah istri terlihat pucat. Sambil mengatur napas, air teh hangat saya suguhkan, beberapa teguk air teh hangat membasahi kerongkongan istri, memberi sedikit tenaga baru. Sekitar 5-10menit kami rehat, kembali beberapa perawat mengarahkan istri, dan di bantu 2 adik sekolah yang sedang praktikum membantu proses persalinan istri. Sembari Istri mengumpulkan sisa-sisa tenaga, sambil terus saya bantu mengarahkan Posisi mengejan lainnya, yaitu posisi tidur jongkok, kaki mengangkang lebar menempel perut, kepala nunduk/masuk, dan kedua tangan memegang paha, menjadi posisi mengejan season ke dua, dan saya membantu menyempurnakan posisinya. Juga saya memberi aba-aba sesuai dengan mbak perawat, kapan harus mengejan, kapan harus ambil napas. Sekuat tenaga, sang istri mengejan atas arahan mbak perawat. Berkali-kali mengejan, dan mengejan. Ambil napas lagi, mengejan lagi. Dan akhirnya kepala bayi keluar, di sambut oleh seorang perawat, dan perawat yang lain membantu sang bayi keluar sempurna. Daaaan akhirnya tangis pertama anak saya terdengar, bayi telah keluar sempurna dari rahim istri saya, Alhamdulillah puji syukur kepada ALLAH SWT………anak saya yang kedua terlahir sempurna, berjenis kelamin perempuan, sesuai hasil dari beberpa USG sebelumnya, dan sesuai harapan kami tentunya. Linangan air mata saya tak terbendung lagi, rasa haru, lega, bahagia jadi satu, dan tak lupa ku kecup kening istri.
Jam dinding di atas kami menunjukkan pukul 2:30 dini hari.
Pesan Anda telah terkirim
……………