Kisah Lain Dewi Siti Hawa bersama ‘Perjalanan Cahaya’ : Wujud Kepedulian Komunitas Biker Purwakarta

Kegiatan akhir pekan dari para biker maupun komunitas (klub) tidak melulu untuk bersenang-senang, dan bersifat individualisme, seperti touring makan-makan dan lain sebagainya, Tapi ada kalanya kegiaan mereka berupa rasa simpati atau kepedulian ke sesama. Mengunjungi wilayah yang belum terjamah oleh modernitas maupun tangan-tangan penolong lain.

Seperti sebuah perjalanan Dewi Siti Hawa (lady biker) bersama Perjalana Cahaya Purwakarta yang dikisahkan kepada saya;

Saat Uang Ada Tapi Bukan Segalanya di
kampung Tegal-Panjang

Minggu,30 Juli 2017: dini hari jam 3 pagi saya mulai gas pelan pelan dari Cirebon menuju Pantura,
seperti biasa sendirian.

Angin bulan Juli yang menerpa kencang membuat ‘kebo besi’ terbawa oleng sana-sini dan debu yang menyapu jalanan hampir menggoyahkan niat saya untuk pergi. Tapi satu kisi hati membisik lebih kuat dari kisi lainnya untuk menabung pahala lebih keras lagi, atau setidaknya 50 50(fifty-fifty)
50 akherat 50 duniawi.

O iya bagi yang belum tau apa itu Perjalanan Cahaya,  baiknya saya jelaskan terlebih dahulu, bahwa Perjalanan Cahaya merupakan perjalanan dengan roda dua menyusuri kampung yang jauh dari perkotaan untuk mengetahui masalah sosial yang terjadi disana terutama masalah penerangan dan membaca.

Buat saya pribadi ‘perjalanan cahaya’ adalah salah satu tujuan saya dalam menjadi manfaat buat orang lain yang ada kaitannya dengan hoby.
Sambil motoran-sambil menabur benih kebaikan dengan pengharapan menuai kebaikan lalu karma-karma baik pun berdatangan.. Amin.
Yang kalau di Cirebon sendiri , ada komunitas wong Cirebon dengan giat bhakti sosialnya.
Sekali sekali keluar dari komunitas sendiri mencari inspirasi untuk kemudian dikembangkan dan diterapkan di kota sendiri.

Kembali ke perjalanan pagi ini di daerah Loh Bener, saya bertemu kemacetan di arah yang berlawanan, saya tidak mencari tau apa yang terjadi tapi memang ada banyak sekali pak Polisi.

Melanjutkan pelan-pelan saja menembus dingin pesisir sepanjang pantura ini membuat saya sedikit menggigil.
Sampai di perbatasan atau lebih tepatnya memasuki gapura kab. Subang ,

Ini lho hiburan menarik buat saya di kilometer ini adalah para bapak-bapak penangkap lembaran uang di sepanjang jembatan di kanan-kiri jalan, lengkap dengan ‘sapu-terbang-nenek sihirnya’ satu orang satu sapu. Sambil lewat sambil melepaskan beberapa lembar rupiah yang dengan sigap ditangkap para pemburu .. SERU!!

Matahari mulai nampak saat saya melaju di kilometer 100 , seperti biasa 120 km ditempuh 2 jam saja pukul 5 pagi saya sudah di Cikampek.
Menunggu dijemput om Rama founder dari Perjalanan Cahaya Purwakarta di gerbang tol Cikopo, sambil memesan segelas kopi dan mie-gelas-instan saya menikmati pemandangan bus yang ngetem menunggu penumpang.
Sebua rutinitas pagi yang mulai hidup.
Eeee…..ternyata saya salah menunggu, karena seharusnya alamat yang saya cari masih jauh di depan sana di gerbang tol berikutnya yakni di  tol Sadang, hadew…..haha…..
“maaf ya om rama jadi nyari nyari saya”
Tiba di rumah om Rama, teman-teman sudah berkumpul dan tidak lama kemudian kami bergegas menuju TKP.

Sebenarnya kampung Tegal Panjang tidak terlalu jauh dari pusat kota Purwakarta, hanya berjarak 30 km saja.
Tapi, akses untuk menuju ke kampung tersebut tidaklah semudah biasanya.

Dari jalan aspal utama kemudian jalan desa, jalan kampung  jalan batu, kemudian setapak, berakhir dengan jalan digalangan sawah sepanjang 1 km. Benar benar desa yang sulit dikunjungi bukan?

2 bulan yang lalu saat team ‘Perjalanan Cahaya’ datang berkunjung dikampung ini, belum masuk listrik dan sebenarnya kedatangan perjalanan cahaya kali ini memang untuk kepentingan ini.
Tetapi ternyata kemudian saat perjalanan cahaya datang kembali ternyata sudah ada pemasangan listrik dari pemerintah, jadilah misi perjalanan cahaya beralih kepada giat sosial yang kali ini kebetulan sekali adalah terlihat sebuah masjid jami’ atau lebih tepatnya mushola yang karena keterbatasan banyak hal, dan juga digunakan untuk ibadah sholat Jum’at yang keadaannya sangat miris sekali.

Mushola Loh Bener Tegal Panjang

Untuk membenahi mushola ini lah perjalanan cahaya datang lagi membawa semua donasi yang dibutuhkan.
Target utamanya mushola, tetapi disamping mushola terdapat balong , dimana balong merupakan sumber air utama penduduk kampung ini digunakan untuk segala keperluan termasuk kebutuhan memasak.

‘Balong’ kampung Tegal Panjang

Saya hampir menangis, jadi keinget dirumah air bersih melimpah ruah bahkan buat cuci bee saja pakai air pam, apalagi saat jamuan makan siang tiba rasanya hati ini sedih sekali mengingat saya itu termasuk rewel soal makan. Kalo tidak suka makanannya memilih untuk tidak dimakan. Tapi dikampung ini says tidak punya pilihan .. Tidak ada jajanan cemilan apalagi ice cream , yang ada cuma nasi-ikan asin & garam, yang penting bisa mengganjal perut dan ada tenaga untuk bekerja di ladang.

Menu siangku

Jajan bakso bisa jadi cuma sekali sekali saja sebab baso cuma ada di desa terdekat jaraknya sama dgn jarak tempuh perjalanan cahaya menuju desa ini. Wew..

Penduduk kampung ini mengaku mereka punya uang tapi tidak tau akan digunakan untuk apa?

Tidak ada ice karena tidak ada yg punya kulkas tidak ada tukang rujak, siomay, mpe-mpek. apalagi k-pop dan sejenisnya.

Rumah saja berhadap hadapan dengan kandang kambing , tidak ada MCK(Mandi Cuci Kakus) permanen ..

Karena untuk mengadakan bahan baku bangunan akses jalan menuju tempat ini tidak memungkinkan.

Tidak ada gadget, tidak ada komputer, tidak tersentuh teknologi peradaban.

Sehari saja disini saya bingung saya sungguh tidak percaya saja dengan apa yang saya lihat.

Akhirnya saya terisak juga saya malu pada diri sendiri yang sering mengeluh yang sering tidak puas diri.

 

Perjalanan ini semoga dapat menjadi inspirasi dan mengetuk hati teman teman semua…..Ternyata bukan cuma langit yang untuknya kita harus mendongak keatas lalu terlupa bahwa dibawah ada bumi yang diatasnya kita berjalan mondar-mandir ……Jadi manusia yang sadar akan dirinya dan tidak lupa untuk selalu bersyukur.

 

Salam adventure..

.

 

‘Bee’ Story : Solo Ridding Road To Bandung-Rancabuaya-Garut

[18-Maret-2017]

Sejak dari pagi, Cirebon sudah diguyur hujan tanpa henti hingga sore menjelang.
Mengingat cuaca seperti ini siapapun pasti akan ‘nge-per’ bila ada agenda keluar rumah, mending rebahan di bed dan tarik selimut. Begitu pula dengan aku, ada rasa ingin mengurungkan niat bepergian, yang tidak suka hujan . Tapi niatku untuk hadir diacara ini [Aniversary 1st D’Raptor Brother Bandung ] lebih kuat dari rasa malas yang mendera.
Jam 18.00 hujan masih tetap tercurah mesti tidak selebat sebelumnya. Gas slow start dari Cirebon jam 18.30..

***

Seperti biasa, 120 km aku tempuh dalam 2 jam 30 menit, meskipun kali ini ditemani hujan tanpa jeda.
Sampai di Buah Batu jam menunjuk angka 21.00 lebih sedikit..
Aku tidak tau jalan ke gunung Putang, hanya berbekal panduan dari pa de bc B.c. Andriyono dan info dari mang Darrel Utama Alex Lexy om Ozzo Thea, om Jamesbon ProRent Brow dan om Kang Avy membuatku yakin saja.
2 kali menghadiri aniv. sebelumnya di Soreang, sudah lumayan hapal tempat ini. Sudah ‘ku duga GPS juga tidak banyak membantu , 2 provider yang aku punya juga tidak ada jaringan sejak dari Cirebon.
Menyerah? No Way.. Dikamus ku kata itu ” tidak ada”
Tekadku untuk semua hal yang aku inginkan , apapun itu jauh lebih kuat dari hal-hal yang mengurungkan nya.
Bukan juga karena sudah terlanjur ijin pada bang djoy selaku pembina CCB dan bunda Inuk Blazer bundanya Lady Bikers Iblbc.
Tapi Draptor Brother adalah club yang sudah lama aku cari, yang didalamnya aku ingin bernaung dan belajar banyak hal. Menjadi bagian dari mereka adalah keinginan yang tidak bisa aku bantah.
Single fighter itu menyenangkan, tapi jauh lebih menyenangkan bersosialisasi dengan orang-orang positif yang punya misi & visi sama.
Sebaliknya, ‘sendiri’ jauh lebih baik dari pada bersama orang orang negatif.

**
Melewati Bojong Soang , Baleendah dan Banjaran dengan mudah, meski melaju pelan-pelan saja karena takut tersesat , beberapa kali bertanya ke orang-orang yang aku temui dijalan hanya untuk memastikan arahku benar.
Didepan ada tanda-panah arah taman Bugenville, kembali aku bertanya pada beberapa tukang ojek diperempatan yang jawabannya membuatku sedikit tercekat.
nanti lurus sampe mentok, jangan balik lagi kalo belum ketemu ujungnya. Sekitar 12 km ” kata mereka.
Eh busyet deh, kata batinku. Ini aja udah jam 22.00 lewat dikit . Daerah pegunungan itu pastilah tidak akan seramai tempat biasa.
Nge-per? Iyaa, sedikit.
Tapi seperti ada dinding dibelakang kita, maka kita tidak punya pilihan selain maju terus.
Singkat cerita akhirnya sampai juga ditujuan jam 23.00 lebih. Selain aku, ternyata ada Amar yang juga terlambat datang, jauh setelah aku tiba.


Sebenarnya tidak ada rencana kalo akhirnya meng-explore Rancabuaya. Ide tersebut tercetus spontan begitu saja ditengah perbincangan dan canda-tawa bersama.

***
Petualangan dimulai disini,
rutenya Gunung Puntang-Situ Cilenca-Cisewu-Rancabuaya-Pamengpek-dst…

***
Setelah berpisah dari teman-teman D’Raptor,  gas selow mengikuti jalan saja. Tidak butuh waktu lama ternyata sudah sampai di Situ Cilenca.


Cukup mengambil beberapa gambar di Situ Cilenca, aku lanjutkan perjalanan sejauh 74 km, begitu dari rambu jalan yang tadi aku lewati bilamana hendak ke tujuan awalku.
74 km itu sama dengan jarak Cirebon-Cibereum, prediksiku sekitar kurang-lebih 2 jam, karena sedikit info tadi katanya jalan berkelok turunan dan tanjakan.
Eh Ternyata jadi molor 3 jam, terpesona pada view yang ada pada desa setelah Situ Cilenca yang mirip sekali dengan view seperti di DOMPU, NUSA TENGGARA.

Lebih jauh setelah puas menikmati desa Cisewu yang ternyata juga adalah tempat wisata kuliner di depan, namun  terjadi longsor.

Kejadian longsor itu sendiri saat aku tiba, sudah penuh kendaraan yang juga sudah ada tindakan untuk membuka jalan.

Dan akhirnya selang 15 menit jalan yang longsor sudah bisa dilalui lagi.

Sempat terjadi insiden kecil disini, karena tanah merah yang diguyur air menjadi begitu licin membuat beberapa yang lewat tergelincir termasuk ‘ Bee ‘ .

‘Bee’ jatuh karena rem belakang yang ku injak membuat ban belakang kehilangan keseimbangan, untunglah jatuh-nya cantik, karena, sebelum bee jatuh, aku sudah melompat duluan.

Lanjut gas .. Perjalanan menjadi membosankan karena biasa saja.

***

Baru setelah masuk Rancabuaya , viewnya cantik sekali, mirip seperti di PACITAN, JAWA TIMUR.

Puas bermain di tiga pantai, Rancabuaya; Santolo dan Sayangheulang, saatnya kembali lanjutkan perjalanan pulang ke Cirebon.

***

Lagi-lagi perjalanan ini menjadi begitu berkesan, view selanjutnya yang aku lalui mirip seperti di kota Wisata BATU, Malang dan juga Dieng. Waah benar benar penuntas dahaga kesegaran.

***

Lanjuut….

Sampai GARUT kota, aku sempatkan diri untuk minum air-putih banyak-banyak sambil mengecek signal, dan ternyata ” ada “. Lumayan bisa bikin status dan membalas beberapa chat.

Sumedang adalah tujuanku berikutnya, tapi ternyata dari beberapa orang yang aku temui menyarankan untuk tidak lewat Wado. Karena pernah dan juga lebih baik nurut dengan yang lebih tahu, aku putuskan untuk lewat Nagrek-Rancaekek, meski lebih jauh, tapi pada prinsipnya ‘nikmati saja’.

Ternyata Rancaekek-nya banjir , ‘kadung‘ sudah terjebak, mau-tidak-mau, ikut arus saja….

Air sudah hampir setinggi knalpot ditambah hujan kembali turun. Takut air masuk ke motor, akhirnya mesin aku matikan. Knalpot dibungkus plastik rapat-rapatdan seorang anak kecil yang membantu mendorong ‘bee’.

Selanjutnya, alhamdulilah pulang lancar dan sampai di Cirebon dengan sehat-selamat jam 23.20

Ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih -sayang dan welas-asih-NYA, Aiptu Djoy yang selalu memonitor kemanapun pergi, Bunda Inuk, om Suparman Tjangra , abang Lois De Failuku, ko Lingga Sym Kesambi, om Dian Herdiana, om KevinArdyanto, om Ersan Suria Pranoto, om Billy B. Afriansyah, om Gerry J Mirza, om Ferry F Satiri, om Jimmy Aleksandria, om Kang Irvan Soebagdja dan semua nya mohon maaf jika tidak ter-sebut.

Terimakasih banyak

Sampai nanti sampai bertemu lagi.

Salam..

 

8 Hari Menuju Titik N0l Sape : Catatan ‘Lady Tourer’ Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

The Journey to Sape(Sumbawa) From Dewi Siti Hawa Lady Biker Tourier

“8 Hari Menuju Titik 0(Nol) Sape”

Salam adventure..

Ini adalah catatan perjalanan yang baru saja saya lakukan dari tanggal 3 Juli s/d 10 Juli 2016.

Diawali dari…

…Jauh-jauh hari selagi masih dalam masa persiapan.
banyak rider yang menyangsikan kemungkinan saya untuk sampai ke tujuan.

Entah dari mana penilaian mereka, mungkin faktor gender juga.

Karena…

Rider sebelumnya butuh lebih dari 10 hari waktu tempuh untuk jarak sekitar 3000 km, belum lagi ditambah jarak dari kota asal.

Total kurang-lebih 2 minggu estimasi yang diperlukan rider dari pulau Jawa menuju Sape (Sumbawa-Nusa Tenggara Barat) 3000 km , pergi-pulang, pergi 1500 km-pulang 1500 km. Dengan rute yang sama.

Mengikuti kata hati dan belajar dari pengalaman.
Saya berspekulasi membuat keputusan dengan keyakinan bahwa saya bisa.

Diluar dugaan …

Ternyata dalam 8 hari itu , bukan hanya medan baru, jarak dan waktu tempuh yang sangat singkat saja yang harus saya taklukan.

Melainkan juga faktor alam dan hari besar perayaan keagamaan.

Badai, hujan, portal , macet, banjir, delay transportasi dan kondisi badan yang nge-drop seiring tenaga extra yang harus dikerahkan. Alhamdulilah tetap under control dan tidak membuat saya menyerah.

Support dari para sahabat dan teman-teman yang menyemangati dan dukungan dari orang yang terkasih ( love u so, terimakasih karena kau ada untuk ku ) adalah cambuk yang membuat saya tidak ingin mengecewakan.

Banyak yang saya dapat dari perjalanan ini, selain jalinan persahabatan, teman-teman baru, pengalaman, pembelajaran, pendewasaan diri, perubahan sikap dan sifat serta rasa syukur yang berlipat setiap saat.

Pun saya percaya bahwa kisah saya ini adalah jembatan ke kisah saya berikutnya.

Yang boleh jadi  Tuhan masih merahasiakannya,  menunggu waktunya tiba .

Yang mungkin juga untuk sampai kesana , mau tidak mau-suka tidak suka, saya harus melewati bagian cerita ini lebih dulu.

Banyak orang sukses lahir dari hobi. Tergantung sejeli apa kita melihat peluang.

So ketika ada orang awam yang bilang.. “Kalo pergi-pergi tuh harus pake perhitungan.”  hmmm senyumin ajalah.. toh dijelaskan seperti apapun tetap tidak akan paham.

Buat saya orang mau ngomong apa saja tentang mimpi saya yang katanya tidak mungkin, lebai, gila, mengada-ada.
Tapi, jika Tuhan berkata ” kun fayakun ” tidak ada yang mustahil bagi Dia.

Dan bagi mereka yang beranggapan bahwa apa yang saya lakukan tidak ada gunanya, buang uang atau apapun opini orang.

Bukan saya mengabaikan,

Kritik dan saran selalu saya terima dengan baik.

Tapi saya punya pendapat sendiri. Tidak bisa dipengaruhi atau dipatahkan oleh siapapun. Setiap individu terlahir berbeda.

Kisah hidup yang sudah dilewati membentuk karakter dan pola-pikir masing masing.

Background dan pola-pikir itulah yang mengarahkan kita untuk merencanakan tujuan hidup yang seperti apa.

So, tidak masalah apapun tujuannya, setiap pencapaian tidak akan pernah sia-sia. Yakin saja bahwa kata hati adalah bisikan kemana Tuhan berencana.

Berikut catatan perjalanan saya menuju titik Nol Sape day by day in fotos …

Kuda besi milik Dewi Siti Hawa

Kuda besi milik Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

13716120_1043077645807539_1359252492470504604_n

13718531_1043077402474230_3123841706484163650_n

Dewi Siti Hawa

Dewi Siti Hawa

13781656_1043084012473569_949589985344545176_n

Dewi Siti Hawa saat di Bima

Dewi Siti Hawa saat di Bima

..

Cerita Dewi Siti Hawa : ‘Solo Riding’ Jawa-Bali-Lombok

Seperti yang sudah saya utarakan pada artikel sebelumnya bahwa akan ada kisah-kisah menarik dari perjalanan berkendara sendirian/ single touring dari sosok gadis bernama Dewi Siti Hawa , benar-benar ga percaya kalo enggak kita baca, lo harus baca man…

Dan untuk yang pertama kita angkat Solo Riding Jawa-Bali-Lombok” dan berikut kisahnya………………………..

Rabu, 15 Juli  pukul 17:30WIB aku mulai melaju pelan keluar dari kota tercinta Cirebon, gas tipis-tipis , rest point pertama adalah kota Solo(Surakarta), pikiran langsung tertuju kesana, dimana seorang teman telah menunggu disana. Namun ternyata sitkon  tidak seperti yang aku perkirakan, arus mudik begitu ramai, bahkan bisa dikatakan  padat merayap. Dibeberapa titik sepanjang Pantura arus lalu lintas tersendat, sempat terjebak macet tidak bisa bergerak. Sepanjang jarak Cirebon-Pekalongan baru kali ini aku ditempuh begitu lama yakni selama 4 jam, hampir dua kali lipat dari biasanya yang cukup 2,5 jam saja.
Tiba di Pekalongan aku punya tempat untuk ngopi favorit yaitu ‘sat pekalongan’ disamping kiri jalan dekat Pasar Batik, teman teman dikota juga sangat tau kebiasan saya itu dan biasanya tanpa diminta ada saja yang sudah menunggu, dan begitu juga kali ini di kota Manggis ini. Diluar dugaan ternyata si teman sudah menyiapkan makan malam dirumahnya, sebagai tamu jelas tidak kuasa untuk aku menolak, dalam hati hanya bisa berujar.. “Hadeww bisa berabe nih malam-malam makan, duuh touring kali ini body pasti bakalan  membengkak..”

Begitu tiba dirumah teman saya di Pekalongan ini, juga telah banyak teman-teman lain yang sudah menunggu dan,… dan tentunya telah tersaji hidangan yang menggugah selera, terlalu sulit untuk menolak, tak kuasa menahan program diet…… seketika terlena dan lupa…twing-twing…dengan lahap menyantap hidangan yang tersaji didepan mata….”Hehehe rejeki jangan ditolak, ga’ baik”

Usai santap makan malam, bercengkrama dan menuntaskan rindu dengan teman-teman, lalu saya ijin undur diri berpamitan untuk melanjutkan perjalanan, dengan berat hati mereka melepasku, sebenarnya waktu itu hampir jam 12 malam dan mata juga sudah mulai menggantuk(mungkin juga karena efek abis makan ).
Tapi aku harus tetap ‘ngegas’ sesuai jadwal. Pantura selarut itu kupikir jalanan sudah lenggang, tapi teryata tidak ubahnya sewaktu sore tadi, suasana masih ramai, bahkan semakin ramai.. “Syukurlah”, ucapku dalam hati karena usai kota Batang adalah Alas Roban. Aku biasa lewat hutan ini (yang imejnya  rada gimana gitu) di waktu dini hari, pun tetap ramai jadi dirasa cukup aman.

Alas Roban terlewati  lalu keluar dari kota Kendal jalanan mulai lenggang, tapi lagi-lagi rasa kantuk datang mendera dan semakin menjadi, sambil menahan rasa kantuk  masuklah aku bersama si kebo merah ke kota Semarang yang mana jalanan sudah mulai sepi. “Hoahmmm…” tidak kuasa lagi menahan rasa kantuk, si kebo’ kesayangan ‘ku hela untuk menepi, ku  pinggirkan dari jalan dan ku parkir di depan swalayan 24 jam-Indomaret kota Bawen , disini ada posko yang juga telah penuh dengan teman-teman pemudik, hampir 2 jam tertidur disini….z z z z z…pulas..

……..dan…Whattts…

Jam sudah menunjuk pukul 3 pagi…
“waduh” ada perasaan bersalah, ini pastinya membuat temanku menunggu’ di Surakarta. Bergagaslah aku ajak kebo-ku berlari sedikit kencang.. Jalanan sepanjang Bawen sampai Solo tidak pernah sepi .. Memasuki Salatiga,…brrrr….hiii… dingiiinn banget, hingga dinginnya menembus jaket rangkap yang ku kenakan, nyaris tembus kulit.
Jam 4.30 pagi, hari 1
aku sudah masuk kota Kartasura... lalu menjumpai temanku yang berdiri menyambut sambil tertawa membuka sapa..riang sekali…Namun kusambut senyum kantuk.. ‘Ya sudah tidak apa, wong namanya ngantuk koq, jangan dipaksa,’gumanku, dan aku hanya menjawab dengan mengangguk, syukurlah temanku tidak marah..mungkin juga tau akan raut muka kurang tidurku.
Jam 5.30 pagi, hari 1
sampailah dirumah temanku .. Rasa kantuk yang belum tuntas kembali datang menyeruak tatkala melihat kasur yang terlihat begitu empuk yang memang telah disiapkan untuk ku, terlihat amat menggoda, sampai-sampai temanku yang menawarkan sarapan kuabaikan dan langsung roboh dikasur tidur pulas dibawah selimut.
 Jam sudah diangka 9.00pagi, hari 1
ketika aku membuka mata.. “huffh..” sedikit menyesal karena seharusnya sesuai planing jam 7 pagi aku sudah lanjut menuju Sidoarjo, “tapi tak apalah Solo – Sidoarjo khan sekitar 5 jam .. masih bisa santai..santai..”,ujarku dalam hati untuk menenangkan dan menghibur diri.
Usai mandi, temanku sudah menyiapkan hidangan , sambil makan kami berbincang asyik hingga tidak terasa waktu begitu cepat berlalu rupanya.
Jam 12 siang, hari 1
aku dilepas dari Solo menuju Ngawi .. Niatku akan gas-pool untuk mengejar waktu,  namun aku juga menyempatkan diri untuk  berfoto-foto di tugu perbatasan Jawa Tengah – Jawa Timur, dan sempat berkenalan dengan para pemudik yang juga sedang mengambil foto. Sekitar 15 menit mengabadikan diri di tugu perbatasan tersebut, lalu saya melanjutkan perjalanan.
Baru melaju sekitar 30 menit melewati hutan Mantingan di Traffic light kota Ngawi, rupanya seorang teman telah menunggu duduk dengan manisnya, teman dari Club Beat yang tak bisa kutolak untuk mengajak sekedar minum teh , jadilah di Ngawi bertemu dengan beberapa teman lain dan berbincang cukup lama.
Jam 2:30 siang, hari 1
saya dilepas menuju Nganjuk.. Sedikit menyesal menyusup dibalik hati , maksud hati ingin mampir di wisata Budha Tidur di Mojokerto namun harus ditangguhkan. “Tapi tak apalah masih banyak waktu…” Dalam senyum saya menarik gas agak kencang , melewati Nganjuk-Jombang hari mulai gelap ketika sampai di Mojokerto. “Asyik” menikmati senja yang begitu cantik tanpa sadar aku kehilangan arah, seharusnya dipersimpangan sebelumnya ambil Kanan, buang banyak waktu jika aku harus putar arah meskipun jika mengikuti jalan akan menjadi lebih jauh dan berputar-putar. Sedikit khawatir aku bertanya pada pengendara disebelah saat berhenti dilampu merah, beruntung pengendara itu begitu baik menawarkan diri untuk mengantar ke tempat tujuan , dengan rasa tidak enak buru-buru aku menolak menginggat jarak dari tempat ini ketempat yang aku tuju memakan waktu sekitar 1 jam. Akan tetapi pengendara itu tidak berkeberatan sama sekali dan meminta aku mengekor dibelakangnya……
Tiba di alun-alun Sidoarjo pengendara itu menemaniku sampai teman-temanku datang . Sambil mengucap banyak terimakasih kami saling bertukar nomor telepon, berharap jalinanan persahabatan tetap terjaga. Dialun-alun Sidoarjo bersama teman-teman menikmati malam , lagi-lagi tak bisa menolak untuk menghabiskan hidangan. “Busyet sudah mati-matian mempertahankan berat badan, kini menyerah dan mulai pasrah saja,…. mulai menikmati liburan.”

 Usai makan , teman-teman mengajakku ke Tretes(wisata pegunungan Pasuruan), hingga jam 12 malam kami saling bertukar cerita , diselimuti dingin nya Tretes, aku terlelap dengan balutan hati senang.

Candi Jawi -Obyek Wisata Tretes-Pasuruan

Candi Jawi -Obyek Wiata Tretes- Pasuruan

landscape Obyek Wisata Tretes-Pasuruan

 
Jam 9 pagi, hari 2
usai sarapan saya dilepas diperbatasan Pasuruan menuju Probolinggo, melewati kota Probolinggo sempat istirahat sejenak di mini market untuk minum air dingin karena siang itu matahari begitu terik, hauuss. Sambil duduk diposko yang disediakan saya sembunyi-sembunyi untuk minum menggingat saat itu masih hari terakhir puasa. Didepan saya beberapa langkah juga duduk seorang laki-laki yang sedang menunggu istrinya. Dia melihat kearah saya yang langsung saya sambut dengan anggukan dan sedikit senyuman, tapi dibalas dengan tatapan yang tidak bersahabat oleh bapak tersebut. Nyengir kecut dengan tatapan terebut dan rasa tidak nyaman dengan suasana tadi, membuat saya ingin buru-buru  segera beranjak, dan “gubrakkk..” tidak hati-hati helm yang saya pegang terlepas dan jatuh. Membuat suasana semakin tegang, beberapa mata tertuju ke saya, tidak menunggu lama lalu tanpa basa basi saya langsung ambil ancang-ancang tancap gass sebisanya…wush…
Ahhh…..Lega rasanya memasuki kota Kraksan, sebentar lagi Paiton, lalu Situbondo kemudian Banyuwangi.

Di Situbondo aku sempatkan singgah disebuah rest area yang kemudian menjadi daftar tempat rest favoritku saat touring tepatnya Rest Area Utama Raya Banyu Glugur Situbondo disini sangat lengkap selain Rest area, coffee shop, restaurant, mushola, supermarket, hotel, spbu, dan toilet. Toilet-nya pun tersedia vip, bisa mandi air panas saat badan pegal-pegal.

Saat di Rest Area Situbondo

Jarak SidoarjoKetapang sekitar 6 jam. Sambil menikmati kota listrik-Paiton bilamana jika kebetulan kita melewatinya saat malam hari, maka akan terlihat indah sekali. Eitt tapi lupakan saja ya, jangan pernah lewat dimalam hari disini, jangankan malam, siang saja sepi. Didepan sana sesudah Banyuwangi ada Taman Nasional Hutan Baluran sepanjang 30 kilometer. Baru sesudah itu sampai di Pelabuhan Ketapang.

 Sepanjang Banyuwangi banyak sekali tempat wisata , kapal-kapal nelayan, hutan bakau tak kalah indahnya. Jika sempat dan ada waktu ke Banyuwangi masuklah ke Taman Nasional Hutan Baluran, dan objek wisata Pasir Putih, juga luangkan waktu untuk berfoto diwisata Watu Dodol

Monumen Patung Puteri-Banyuwangi

 ………………bersambung……………………………………………..
 
 catatan Dewi :
  • Sebenarnya dihari terakhir ramadhan ini saya ingin tetap menjalankan ibadah puasa seperti biasa, akan tetapi semua schedule diluar dugaan mau tidak mau saya harus memilih. Alasan kenapa saya ‘riding’ dihari yang semestinya saya rayakan bersama keluarga adalah saya adalah seorang karyawan yang sebagian besar waktunya terikat dengan jam kerja. Akan tetapi kebebasan berfikir membuat saya mengubah keterbatasan menjadi kesempatan. Bukan kah setiap hari saya berkumpul dengan keluarga? jika saya tidak melakukannya sekarang mungkin nanti keadaannya sudah berbeda
  • Prinsip saya : “lakukan yang saat ini saya bisa”, jika tidak dilakukan sekarang? Kapan lagi?