Foto Kirab Sejuta Derap Langkah Songsong Bandara NYIA

Kirab STTKD Yogyakarta si Malioboro Minggu 12 November 2017

Ini nih beberapa foto dari pawai atau kirab dari siswa atau Taruna-taruni Sekolah Tinggi Kedirgantaraan (STTKD) Yogyakarta yang telah berlangsung Minggu (12/11) kemarin di jalan Malioboro ( kantor DPRD Yogyakarta – Titik 0 Km). Mereka yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik ini.merupaan calon penerbang, pilot, teknisi pesawat, pramugara dan pramugari, silahkan dilihat…

Alamat & nomor telepon STTKD Yogyakarta

Taruna-taruni STTKD Yogyakarta berprestasi dalam kirab di Malioboro

Taruna-taruni STTKD Yogyakarta berprestasi

Taruna-taruni STTKD Yogyakarta membawa panji

Taruni STTKD Yogyakarta

Taruni STTKD Yogyakarta

Kirab STTKD Yogyakarta di Malioboro

Kirab STTKD Yogyakarta di Malioboro

Kirab STTKD Yogyakarta

Drumband Gema Dirgantara STTKD Yogyakarta

Drumband STTKD Yogyakarta

Drumband STTKD Yogyakarta

Drumband STTKD Yogyakarta

Drumband STTKD Yogyakarta

 

Drumband STTKD Yogyakarta

Taruni STTKD Yogyakarta

STTKD choir

Taruna STTKD Yogyakarta

Taruna STTKD Yogyakarta

Taruna STTKD Yogyakarta

Taruni STTKD Yogyakarta

Taruni STTKD Yogyakarta

Taruna-taruni STTKD Yogyakarta

Taruna STTKD Yogyakarta

Drumband STTKD Yogyakarta

Kirab STTKD hibur Wisatawan Malioboro

Kirab STTKD di Malioboro Minggu 12 November 2017

Pagi ini (Minggu, 12/11) jalan Malioboro dihiasai pawai atau kirab para taruna-taruni siswa Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan (STTKD) Yogyakarta.

Pawai atau kirab diikuti oleh 1500 siswa STTKD, diawali dengan barisan Marching band, lalu taruna-taruni baru STTD 2017-2018,  , wisudawan – wisudawati.

Pawai yang bertajuk ” Kirab Sejuta Derab langkah STTKD Yogyakarta Sonsong Bandara New Yogyakarta Internasional Aiport (NYIA).”

Kirab dimulai dari halaman DPRD Yogyakarta menuju titik 0 Km. sekitar 1km atau 1000meter, itulah mengapa dinamakan sejuta derab langkah.

Kirab dilepas oleh ketua STTKD Yogyakarta : Bapak Marsda TNI (Purn.) H. Udin Kurniadi, S.E, M.M beserta Keluarga besar STTKD Yogyakarta.

Meski dibawah rintik hujan gerimis, antusiasme tinggi ditunjukkan oleh mereka ; yakni barisan :

  1. 50 Taruna- taruni berprestasi
  2. 100 Drumband Gema Dirgantara STTKD
  3. 250 calon wisudawan – wisudawati
  4. 150 UKT (Unit Kegiatan Taruna/i) : basket, beladiri, tari, futsal, jurnalistik
  5. 1000 taruna – taruni junior TK1
  6. 50 taruna – taruni organisasi

 

Bapak Marsda TNI (purn) H. Udin Kurniadi, S.E, M.M dalam sesi wawancara mengatakan, ” STTKD Yogyakarta sesuai dengan Visinya sebagai pusat keunggulan (Center of Excellence) dibidang Kedirgantaraan telah siap untuk mewujudkan visi Nawacita Prediden Jokowi, serta sedang dibangunnya bandara baru NYIA yang berada di Kulon Progo yang siap beroperasi di 2019, yang mana membutuhkan banyak tenaga ahli di bidang Kedirgantaraan, maka STTKD Yogyakarta siap menyediakan tenaga ahli yang mumpuni dan berkompeten.”

.

Nantikan yach foto-foto dari taruna – taruni yang ganteng- ganteng dan cantik-cantik….!!!

 

Makna Lambang Keraton Yogyakarta

Lambang keraton Yogyakarta

Setiap negara ataupun kerajaan tentunya mempunyai sebuah lambang atau simbol, seperti negara kita Indonesia mepunyai lambang negara Garuda Pancasila, begitupula dengan kerajaan atau keraton Yogyakarta, juga memiliki sebuah lambang yang pastikannya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Seperti gambar diatas, itulah lambang keraton/ Kraton Yogyakarta.

Berbentuk seperti perisai wana merah, berbingkai motif sayap-burung warna kuning-emas. Simbol yang sudah ada sejak 3 abad yang lalu ada sekitar tahun 1755 dimana kraton Jogja didirikan oleh Pangeran Mangukubumi.

Ternyata banyak makna yang terkandung di dalam simbol yang dinamai Praja Cihna tersebut dan setidaknya ada 8 bagian motif yang diambil dari beragam bentuk. (Praja Cihna dibuat oleh Sultan Hamengku Buwono I / Pangeran Mangkubumi,  berasal dari bahasa Sansekerta. Praja berarti abdi negara, sedang Cihna berarti sifat sejati. Secara harfiah Praja Cihna bermakna sifat sejati seorang abdi negara [krjogja.com,27/10]).

Selain berfungsi sebagai ragam hias di beberapa bangunan, Praja Cihna juga digunakan dalam kop surat resmi dan medali penghargaan.

Adapun makna-makna yang terdapat dalam lambang tersebut adalah sebagai berikut:

 

1. Songkok / Mahkota

Ageman irah-irahan prajurit. Minangka pralambang sipat satriya sarta cihnaning Nata.

Penutup kepala yang dikenakan oleh prajurit Melambangkan watak ksatria yang juga merupakan sifat seorang Raja

 

2. Sumping / Hiasan Telinga

Ageman tancep talingan. Ceplik, lambange urip, kayadene kembang srengenge. Godhong kluwih, saka tembung “luwih”, duwe kaluwihan. Makara, rasa dayane kanggo hanjaga rubeda, awit kuncarane kraton

Perhiasan yang diselipkan ditelinga. Giwang, yang berbentuk seperti bunga matahari, melambangkan kehidupan. Daun Keluwih, berasal dari kata “luwih” yang berarti kelebihan. Makara, melambangkan perlindungan untuk keselamatan kraton

 

3. Praba / Sorot Cahaya

Gegambaraning parogo ingkang kinormatan sayekti tumrap kapitayan Jawa Mataram.

Melambangkan pribadi yang dapat menegakkan kehormatan Jawa Mataram.

 

4. Lar / Sayap

Swiwi Peksi, lambange gegayuhan inggil kayadene sumundul angkasa.

Melambangkan cita-cita tinggi, setinggi langit

 

5. Tameng / Perisai

Sanjata kanggo handanggulangi salira ing palagan. Warni abrit, pralambang niat wanton jalaran hambela gegayuhan leres tumrap bebrayan, ananging mboya nilarake sipat waspada.

Senjata untuk melindungi diri pada saat perang. Warna merah melambangkan keberanian yang tanpa meninggalkan kewaspadaan untuk membela kebenaran

 

6. Seratan Ha Ba / Tulisan Ha Ba (H B)

Cihnaning Nata, bilih ingkang jumeneng enggeh sesilih Hamengku Buwana. Asma puniku kebak wucalan hadi luhung kacihna hamengku, hamangku, sarta hamengkoni. Warna jene pralambang Agung Binathara.

Aksara Jawa ‘Ha’ dan ‘Ba’ merupakan singkatan dari gelar Sultan yang bertahta di Keraton Yogyakarta, H.B.= Hamengku Buwono. Gelar tersebut penuh dengan harapan luhur agar mampu melindungi, membela, serta mewujudkan kemakmuran rakyat. Warna kuning keemasan melambangkan keagungan

 

7. Kembang/ Sekar Padma / Bunga Teratai

Sesambetane kaliyan panggesangan bilih samangke sedaya puniku ugi linambaran dateng gelare donya akhirat

Bunga teratai yang mengambang di atas air menggambarkan kehidupan dunia yang mendasari kehidupan di akhirat

 

8. Laler/Sulur / Tumbuhan Sulur 

Pralambang bilih panggesangan puniku lumampah kalajengan kados gesange sulur mrambat 

Menggambarkan kehidupan berkelanjutan laksana sulur yang terus menerus tumbuh merambat.

 

Selain lambang Kasultanan, juga disusun lambang bagi pribadi Sultan. Lambang pribadi atau Cihnaning Pribadi ini bentuknya sama persis dengan Praja Cihna dengan tambahan Huruf Murda di bagian bawah helai sayap. Huruf Murda tersebut berarti angka yang menandakan Sultan yang sedang bertahta. Cihnaning Pribadi ini banyak ditemukan pada benda-benda seperti perabot rumah tangga peninggalan Sultan-Sultan yang pernah bertahta.

 

 

Sumber : kratonjogja.id

Inilah Motif Batik Pemkot Jogja

Motif batik Ceplok Segoro Amarto

Batik menjadi warisan budaya Indonesia, hampir seluruh wilayah/ daerah mempunyai ciri khas/ motif masing-masing, seperti halnya di kota Yogyakarta yang saat ini sedang memperingati HUT Kota Jogja ke-261, Sabtu, (07/10/2017).

Walikota Yogyakarta, bapak H. Haryadi Suyuti di depan Gubernur DIY, Sri Sultan HB. X dan GKR Hemas, mensosialisasikan dan memperkenalkan motif batik khas Yogyakarta, yang diberi nama  Ceplok Segoro Amarto yang akan menjadi batik khas Pemerintah Kota Yogyakarta.

Walikota menjelaskan makna dari batik ini adalah upaya menjunjung tinggi derajat dan kewibawaan dengan menjaga keharmonisan hidup. Ceplok Segoro Amarto didalamnya terdapat beberapa motif antara lain motif Parang yang berarti tinggi derajatnya dan Kawung bermakna kehidupan yang harmonis dan menjaga keseimbangan alam.

Walikota juga memberikan dua lembar batik Ceplok Sogoro Amarto kepada Sri Sultan dan GKR Hemas. Batik ini rencananya kan menjadi salah satu kain batik seragam yang dikenakan oleh karyawan PNS Kota Yogyakarta.

 

Source : akun facebook ‘kota Jogja’ dari jogjakota.co.id

Yuuk…Lebih Mengenal Benteng Keraton Yogyakarta

Pojok Beteng Kulon

Bagi masyarakat Jogja maupun warga luar yang pernah tinggal atau berada dijogja, pasti akan familiar dengan kata Jokteng, Jokteng_kulon, Jokteng_wetan. Jokteng merupakan sebuah singkatan dari dua kata yakni poJOK beTENG. Sedang kulon maupun maupun wetan merupakan penyebutan arah mata angin dalam bahasa jawa, kulon=barat dan wetan=timur. Jsdi jokteng merupakan sebuah singkatan dari pojok beteng yang merupakan sebuah sudut dari beteng.

Beteng merupakan sebuah bentuk bangunan yang mengelilingi sebuah bangunan utama seperti sebuah bangunan rumah, sekolah, perkantoran dan juga kerajaan. Lazimnya kerajaan pasti mempunyai bangunan utama berupa keraton dan bagunan benteng yang mengelilinginya. Sebab  benteng merupakan sebuah pertahanan fisik dari serangan musuh maupun keamanan mereka dari apa saja yang berusaha menyerang mereka.

Seperti halnya keraton Jogja yakni Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang juga mempunyai bangunan beteng yang mengelilinginya.

Mengutip dari website resminya yakni kratonjogja.id,  yuuk mari kita sama-sama menyimak  seputar benteng yang sampai saat ini masih berdiri megah.

 

Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok. Lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton. Tembok berikutnya jauh lebih luas dan kuat, disebut dengan tembok Baluwarti, atau lebih sering disebut hanya sebagai Beteng. Selain kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng.

 

Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata baluarte dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. Persamaan ini membuat Denys Lombard, seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis. Hal ini masuk akal mengingat pembangunan tembok Baluwarti memiliki masa yang sama dengan pembangunan Tamansari yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis.

Ilustrasi denah beteng keraton Yogyakarta

Tembok keliling tersebut didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), pendiri Kasultanan Yogyakarta. Bentuknya mirip persegi empat, namun lebih besar bagian timur. Benteng keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1200 meter, sedang arah utara ke selatan 940 meter. Benteng di sisi timur keraton diperpanjang ke utara sejauh 200 meter, karena di sana terletak kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Tempat tinggal putra mahkota ini dikenal juga sebagai Istana Sawojajar.

 

Pada sisi luar benteng terdapat parit yang dalam dan jernih airnya. Parit itu disebut jagang, sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng.

 

Pada awalnya benteng ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu. Lalu diperkuat lagi hingga memiliki ketebalan dua batu (lebih kurang 55 cm) dengan longkangan (lorong) selebar 2,4 meter yang diurug dengan tanah hasil galian jagang. Tinggi urugan 3,7 meter dari permukaan tanah awal. Longkangan tersebut digunakan sebagai pelataran benteng bagian dalam di mana prajurit dapat berjaga. Dari pelataran ini tinggi benteng dinaikkan lagi 1,5 meter. Sedang dinding benteng dibuat dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah.

 

Terdapat lima gerbang dengan pintu melengkung sebagai sarana keluar masuk benteng. Di atas gerbang terdapat pelataran yang dinamakan panggung. Pintu gerbang benteng ini disebut Plengkung atau Gapura Panggung. Masing-masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu jaga dan empat buah longkangan sebagai tempat meriam.

 

Kelima plengkung yang mengelilingi benteng itu adalah Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing di sebelah selatan, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Plengkung Madyasura kadang disebut juga sebagai Plengkung Tambakbaya.

 

Pada tiap plengkung terdapat jembatan gantung. Jembatan ini dapat ditarik ke atas sehingga plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula plengkung-plengkung ini terbuka dari jam enam pagi sampai enam sore. Jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi dari jam lima pagi sampai jam delapan malam, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.

 

Desain benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya, terutama tampak pada gerbang-gerbang yang tersebar dalam segala penjuru. Dalam merancang benteng ini, Pangeran Mangkubumi nampaknya belajar banyak dari jatuhnya ibukota Mataram-Kartasura ke tangan pemberontak pada peristiwa Geger Pacina/Perang Cina (1740-1743). Dalam peristiwa tersebut, pasukan pemberontak Cina dan Jawa bergabung melawan VOC, mereka menyerbu dan merebut Keraton Kartasura karena memandang bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) memihak VOC. Ditilik dari modelnya yang mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar benteng keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh patih kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno, selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an.

 

Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu, merupakan bagian paling akhir yang diselesaikan oleh Pangeran Mangkubumi atau yang dikenal sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Benteng ini selesai dibangun pada tahun Jawa 1706, atau tahun 1782 Masehi. Pembangunan benteng dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika Bupati Madiun yang kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II.

 

Sri Sultan Hamengku Buwono II masih memperkuat lagi benteng keraton pada masa pemerintahannya. Ia merasa bahwa ketegangan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin meningkat dan peperangan akan segera terjadi. Sultan kemudian memanfaatkan kehadiran rombongan pekerja yang datang saat acara Garebeg Puasa untuk memperkuat pertahanan keraton. Pada 13 November 1809, keempat sudut benteng dibuat menonjol keluar.

 

Keempat sudut benteng ditambah dengan bangunan baru sehingga berwujud segi lima. Pada ketiga sudut yang menjorok keluar diberi semacam sangkar sebagai tempat penjagaan yang disebut sebagai bastion. Bentuknya seperti tabung dengan lubang-lubang kecil untuk mengintai. Pada dinding antar bastion diberi longkangan sebanyak sepuluh buah sebagai tempat memasang meriam. Bangunan baru itu disebut juga sebagai Tulak Bala, kini lebih dikenal dengan sebutan Pojok Beteng, atau kadang disingkat sebagai Jokteng.

 

Salah satu sudut benteng ini kemudian hancur saat Geger Sepehi pada tanggal 20 Juni 1812. Bala tentara Inggris yang saat itu menguasai Jawa menyerang Keraton Yogyakarta. Mereka berhasil meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut. Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura ditutup secara permanen sebagai bagian dari strategi pertahanan, setelah sebelumnya pihak Keraton Yogyakarta mendengar bahwa pasukan musuh berencana masuk melalui plengkung tersebut.

 

Pintu masuk ke dalam benteng di sisi timur baru dibuka lagi tahun 1923 dengan dibongkarnya Plengkung Madyasura atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939). Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Bowono VIII ini pula plengkung tidak pernah lagi ditutup. Bahkan demi memperlancar lalu lintas, Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya dirombak menjadi gapura terbuka.

Pojok Beteng Kulon

Saat ini sebagian besar benteng telah tertutup oleh pemukiman. Tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalau pun ada hanyalah selokan di sisi Pojok Beteng. Tidak diketahui dengan pasti kapan bangunan benteng dan jagang tertutup oleh pemukiman. Namun ada dua peristiwa besar yang dapat ditilik sebagai acuan, gempa bumi tahun 1867 dan pendudukan Jepang (1942-1945).

 

Gempa bumi tahun 1867 membuat kerusakan cukup parah di kota Yogyakarta. Banyak rumah rusak, termasuk rumah para Abdi Dalem. Didorong oleh rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) memperkenankan para Abdi Dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara. Rupanya kebijakan ini berlanjut terus sampai dengan keturunan-keturunan dari Abdi Dalem yang bersangkutan.

 

Hal yang sama terjadi pada masa pendudukan Kerajaan Jepang. Di mana-mana rakyat ketakutan dan mencari perlindungan. Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian memutuskan untuk menampung mereka di sisi dalam dan sekitar benteng. Keadaan ini tetap dibiarkan bahkan ketika masa pendudukan Kerajaan Jepang berakhir. Dalam perkembangannya, pemukiman ini kemudian merusak benteng yang ada. Ditemukan pemilik rumah yang menempel sisi benteng mengeruk dinding benteng untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi rumah mereka. Ada juga yang menjebol tembok benteng untuk menciptakan akses keluar masuk. Hal ini membuat beberapa bagian benteng tidak lagi terlihat sisanya dan sepenuhnya tertutup oleh pemukiman.

 

Dari lima buah plengkung, hanya tersisa dua yang masih utuh berbentuk gerbang melengkung, yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing. Bangunan Tulak Bala yang masih utuh adalah Pojok Beteng Wetan (tenggara), Pojok Beteng Kulon (barat daya), dan Pojok Beteng Lor (barat laut). Sisa tembok benteng yang masih utuh hanya dari Plengkung Gading ke timur sampai dengan Pojok Beteng Wetan. Persis di sebelah timur Pojok Beteng Kulon, dibuka jalan lengkap dengan lampu pengatur lalu lintas sehingga pintu keluar masuk benteng bertambah.

 

Bagian dalam Pojok Beteng Wetan kratonjogja.id

Pengunjung yang berminat masih bisa menikmati bagian-bagian tembok pertahanan Keraton Yogyakarta. Tiga Pojok Beteng yang tersisa terbuka untuk umum, dapat dikunjungi melalui tangga yang terdapat pada sisi dalam benteng. Pintunya terbuka dari jam enam pagi sampai jam enam sore. Begitu juga Plengkung Nirbaya, pengunjung dapat naik ke atasnya melalui tangga di kiri kanan sisi dalam plengkung. Dari situ, pengunjung bisa berjalan menyusuri benteng sampai dengan Pojok Beteng Wetan.

 

Dari masa ke masa, benteng keraton telah menjadi saksi bisu bagi perkembangan kota Yogyakarta. Secara fisik posisinya tidak pernah berubah, namun secara sosial ia melambangkan perubahan yang terjadi. Benteng yang awalnya menjadi pemisah tegas antara keraton dengan dunia di sekelilingnya, kini terbuka bagi rakyat yang bernaung di dalamnya.

 

Sumber : Kratonjogja.id

.