Nama aslinya sih Bambang Hertadi(57) tapi lebih akrab dan senang disapa dengan Paimo. Pria kelahiran Malang ini memang telah menjadi ‘legenda’ di kalangan para bikers, karena prestasinya yang sangat gemilang dan telah menorehkan sejarah mengelilingi lima benua dengan sepeda. Luar biasa bukan???
Nama Paimo, ia dapatkan dikala Bambang menuntut ilmu di perguruan tinggi atau semasa ia kuliah. Ia menuturkan bahwa nama tersebut merupakan pemberian teman-temannya semasa kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB), dikarenakan dia sering sekali menggunakan bahasa Jawa daripada menggunakan Bahasa Indonesia.
Bersepeda menjadi menu sedari kecil. Dan menjadi hobi dikala Paimo beranjak SMP. Saat itu dia mulai bersepeda menempuh Malang-Kediri, dan Malang-Tulungagung. Ketika SMA dan ketika lulus perguruan tinggi dia mulai menempuh perjalanan antar pulau. Perjalanan yang dinamainya “Cintaku Negeriku” itu menembus 1.656 kilometer. Bersepeda dari Bandung hingga Sumbawa Besar dan mendaki Rinjani di Lombok dan Tambora di Sumbawa. Super sekali bukan!
Paimo seperti tidak ada tandingannya untuk urusan bersepeda jarak jauh. Rute-rute yang tidak terbayangkan sudah dia lintasi. Mulai bersepeda hingga ke puncak Gunung Kilimanjaro (5.896 mdpl) di Afrika, hingga bersepeda melintasi sepanjang daratan Amerika Selatan dari Bolivia hingga Chile.
Paimo juga pernah bersepeda menjelajahi dataran tinggi Himalaya-Nepal, dan India. Benua biru Eropa pun tidak lepas dari petualangannya. Dia pernah bersepeda dari Portugal bablas hingga ke Prancis. Dia juga pernah ke Maroko, menelusuri jalur sutra, dan melintasi Tembok Besar Tiongkok. Sudah puluhan ribu kilometer dia lalui dengan menggowes sepeda.
“Dulu belum ada sepeda yang dibuat untuk jarak jauh, jadi saya hanya pakai sepeda merek Federal buatan dalam negeri, karena dulu nggak sanggup beli sepeda,” ujarnya sambil tersenyum.
Selain perlengkapan sepeda, dia harus membawa tenda dan sleeping-bag untuk beristirahat di jalan. Saat merintis long-distance-cycling atau dalam istilah kerennya “bikepacking“, Paimo harus bisa membuat sendiri alat-alatnya. Dia membuat rak depan dan belakang untuk tempat tas dari besi cor. Besi tersebut lantas disambungkan dengan baut ke frame sepeda. Rak yang dibuatnya pada 1997 itu baru rusak pada 2006 dalam perjalanan dari Bolivia ke Chile. Semua perlengkapan reparasi dan suku cadang sepeda juga harus dibawa, mulai dari rantai hingga ban dalam.
Soal tempat tidur, Paimo harus menyadari keterbatasan bawaannya. Dia mesti rela tidur di dekat kuburan, dekat lapangan bola, bahkan di reruntuhan bekas stasiun. Pernah saat dalam perjalanan di kawasan danau Salar de Chiguana, Bolivia, yang mengering, dia harus mendirikan tenda di sebuah reruntuhan bangunan yang tak terurus dan sangat kotor.
Petualangan di sepanjang jalur Bolivia-Chile memang yang paling berat dirasakan Paimo. Sepanjang enam ribu kilometer dia harus terus menyusuri jalan darat dari La Paz, ibu kota Bolivia, hingga Punta Arenas di Chile. Tantangannya tak hanya pada jarak tempuh yang sangat jauh., ketinggian alias altitude medan di sana juga luar biasa. Selama dua minggu dia harus menggowes pada ketinggian 3.600 mdpl yang hampir sama tingginya dengan Gunung Semeru di Jawa Timur.
Menurutnya, bersepeda di Amerika Selatan pun juga tak bisa sembarangan. Paimo mengaku harus bisa mengelola energi plus pintar-pintar menyiasati kadar oksigen yang tipis. Sepeda tak sekadar digenjot, kadang-kadang dia harus berhenti sejenak untuk mengadaptasikan tubuhnya.
“Ya memang sangat capek. Tapi saya senang dapat bertemu orang-orang baru, bahkan belajar banyak kebudayaan baru dari negeri orang,” kata dia bangga.
Pengalaman gowes di Amerika Selatan itu kini dia bukukan dalam judul Bersepeda Membelah Pegunungan Andes. Paimo berharap buku itu bisa menjadi pelajaran bagi para penggemar bikepacker untuk menjelajahi negeri sendiri yang luas.
Saat mengawali penjelajahan, Paimo sempat hanya mampu menuntun sepedanya sejauh 17 kilometer. Medan yang berada di lembah dan punggung Pegunungan Andes, rata-rata 3.600 meter di atas permukaan laut, membuatnya sekadar bernapas saja sulit.
Apalagi mengayuh sepeda. Danau garam terbesar di Amerika Selatan, Salar de Uyuni, adalah medan sulit berikutnya. Sejauh mata memandang hanya kristal putih semata. Selepas itu, padang pasir Atacama yang ganas, panas, kering serta bertiupan angin kencang bak tornado kerap menciutkan nyali.
Buku ini dilengkapi puluhan foto menarik dan eksklusif bidikan Paimo selama 62 hari membelah Pegunungan Andes, penjelajahan yang ia persiapkan selama delapan tahun.
Sumber : brilio.net & Eiger adventure.
Luar biasa Paimo
SukaDisukai oleh 1 orang
Yessss, super man
SukaSuka
Hmmmmmm 👍👍❤️ terimakasih atas apresiasinya. Mohon doa restunya Juni 2023 ini akan menyusuri Muyunkum Kazakh Desert dan Betpak Dala di Kyrgyzstan dan Kazakhstan.
🙏🙏🙏🚴
SukaDisukai oleh 1 orang
smg sehat selalu dan lancar perjalanannya
SukaSuka