Menurut pendapatku, Pekerjaan di sawah (bercocok tanam padi) adalah dimulai tatkala waktu panen tiba, (yang selanjutnya pak tani mempersiapkan persemaian, olah lahan, menanam, merawat dan menunggu panen.
Panen adalah satu hal yang paling ditunggu oleh petani padi, menikmati hasil jerih payah bergumul dengan lumpur, panas dan gatal sejak 3 bulan sebelumnya.
Nah saat panen tiba , jika petani tidak bisa memanem sendiri, maka akan di mintakan kepada orang lain unruk memanennya. Kegiatan orang lain memanenkan padi tadi disebut dengan Derep (Bahasa jawa,pengucapan -e- seperti pada kata dengan), dan upah yang didapatkan oleh orang lain dari jasa nya tersebut di sebut dengan Bawon.
Bawon ini berupa ata berujud gabah basah dengan perhitungan skala perbandingan ataupun persentase, yang perhitungannya bisa berbeda dari setiap daerah, standarnya 1:8, 1 untuk penderep , 8 untuk petani.
Iya meskipun daerah kami bukan terpencil maupun terisolir, bahkan sebenarnya dekat dengan perkotaan, namun pengerjaan pertanian masih 75% dikerjakan secara manual konvensional, dikerjakan oleh tenaga manusia. Seperti pada pengerjaan saat panen, maupun saat tanam.
Dengan begitu seiring berjalannya waktu dan perubahan zaman, para pen-derep atau sumber daya manusia untuk ke sawah banyak berkurang, ada yang sudah lanjut usia dan sudah meninggal, sedangkan regenerasinya pun tidak ada. Jadi dengan begitu lambat laun_semakin hari semakin ke sini, kami sangat kesulitan untuk mencari pen-derep.
Bahkan kami mengandalkan jasa penderep dari luar daerah, dalam satu dekade ini, itupun sekarang sudah tidak ada lagi, kami merasa was-was , bilamana sudah tidak ada lagi orang yang mau memanen, sedangkan Modernitas semisal alat memanen belum menjamah wilayah kami.
Lalu kenapa tidak dikerjakan sendiri?
Meskipun kami petani gurem (punya lahan milik sendiri yang tidaklah begitu luas) yang juga mengerjakan lahan milik orang lain istilahnya ‘maro’, tapi kebiasaan kami memang lah selalu menananm maupun memanen ya dikerjakan oleh orang lain.
Dan kini ada metode pengupahan baru untuk memanen padi, yang awal nya kami memberi upah dengan bawon (gabah basah)_ kini para pen-derep meminta upah uang/ duit, bukan dengan gabah. Otomatis kami harus mengeluarkan budget sebelumnya. Dengan perhitungan Rp 4.000,- untuk 1 lobang(10m²). Sebagai pembanding untuk biaya olah tanah memakai traktor mesin biayanya Rp 2.000,- / lobang. Semuanya dikerjakan dengan sistem borongan.
Kalau dikalkulasi, dengan biaya panen sebesar itu, boleh dibilang bisa pas-pasan, apalagi kalau cuma ‘maro’….
sekarang biaya buat nanam padi sampai akhirnya jadi gabah sudah nggak sebanding dengan yang dihasilkan mas. Bapakku dari mluku, ndaut, tandur, plus buat pupuk saja sudah hampir 1,5 jutaan di sini. belum lagi nanti kalau panen pake tleser sekarang bayarnya sekali panen 450 ribu. Kalau tanaman padinya bagus ya alhamdulillah, tapi kadang jumlah panen ada yang gak sampai 10 sak dalam satu patok sawah.
SukaDisukai oleh 1 orang
Ternyata sama juga ya, iya jika semua dikerjakan oleh orang lain memang bisa dikata enggak jadi untung. solusinya memang perlu mesin untuk tanam maupun panen, secara biaya pasti lebih murah, syukur-syukur ada bantuan mesin dari pemerintah, dengan begitu biaya bisa diminimalisir.
SukaSuka
Memang betul dan memprihatinkan.Apalagi kalau mengingat zaman dulu,ketika wajah2 ceria selalu menghiasi seluruh warga desa pada saat musim panen tiba.
Kaum remaja putera puteri juga bersendagurau disaat2 menunggu waktu derep.Kami juga saling membantu untuk menyelesaikan derepan Kami yang tertinggal.
Prihatin!
Manusia sekarang tetap makan nasi tapi yang jadi petani semakin jarang
SukaSuka