‘Bee’ Story : Solo Ridding Road To Bandung-Rancabuaya-Garut

[18-Maret-2017]

Sejak dari pagi, Cirebon sudah diguyur hujan tanpa henti hingga sore menjelang.
Mengingat cuaca seperti ini siapapun pasti akan ‘nge-per’ bila ada agenda keluar rumah, mending rebahan di bed dan tarik selimut. Begitu pula dengan aku, ada rasa ingin mengurungkan niat bepergian, yang tidak suka hujan . Tapi niatku untuk hadir diacara ini [Aniversary 1st D’Raptor Brother Bandung ] lebih kuat dari rasa malas yang mendera.
Jam 18.00 hujan masih tetap tercurah mesti tidak selebat sebelumnya. Gas slow start dari Cirebon jam 18.30..

***

Seperti biasa, 120 km aku tempuh dalam 2 jam 30 menit, meskipun kali ini ditemani hujan tanpa jeda.
Sampai di Buah Batu jam menunjuk angka 21.00 lebih sedikit..
Aku tidak tau jalan ke gunung Putang, hanya berbekal panduan dari pa de bc B.c. Andriyono dan info dari mang Darrel Utama Alex Lexy om Ozzo Thea, om Jamesbon ProRent Brow dan om Kang Avy membuatku yakin saja.
2 kali menghadiri aniv. sebelumnya di Soreang, sudah lumayan hapal tempat ini. Sudah ‘ku duga GPS juga tidak banyak membantu , 2 provider yang aku punya juga tidak ada jaringan sejak dari Cirebon.
Menyerah? No Way.. Dikamus ku kata itu ” tidak ada”
Tekadku untuk semua hal yang aku inginkan , apapun itu jauh lebih kuat dari hal-hal yang mengurungkan nya.
Bukan juga karena sudah terlanjur ijin pada bang djoy selaku pembina CCB dan bunda Inuk Blazer bundanya Lady Bikers Iblbc.
Tapi Draptor Brother adalah club yang sudah lama aku cari, yang didalamnya aku ingin bernaung dan belajar banyak hal. Menjadi bagian dari mereka adalah keinginan yang tidak bisa aku bantah.
Single fighter itu menyenangkan, tapi jauh lebih menyenangkan bersosialisasi dengan orang-orang positif yang punya misi & visi sama.
Sebaliknya, ‘sendiri’ jauh lebih baik dari pada bersama orang orang negatif.

**
Melewati Bojong Soang , Baleendah dan Banjaran dengan mudah, meski melaju pelan-pelan saja karena takut tersesat , beberapa kali bertanya ke orang-orang yang aku temui dijalan hanya untuk memastikan arahku benar.
Didepan ada tanda-panah arah taman Bugenville, kembali aku bertanya pada beberapa tukang ojek diperempatan yang jawabannya membuatku sedikit tercekat.
nanti lurus sampe mentok, jangan balik lagi kalo belum ketemu ujungnya. Sekitar 12 km ” kata mereka.
Eh busyet deh, kata batinku. Ini aja udah jam 22.00 lewat dikit . Daerah pegunungan itu pastilah tidak akan seramai tempat biasa.
Nge-per? Iyaa, sedikit.
Tapi seperti ada dinding dibelakang kita, maka kita tidak punya pilihan selain maju terus.
Singkat cerita akhirnya sampai juga ditujuan jam 23.00 lebih. Selain aku, ternyata ada Amar yang juga terlambat datang, jauh setelah aku tiba.


Sebenarnya tidak ada rencana kalo akhirnya meng-explore Rancabuaya. Ide tersebut tercetus spontan begitu saja ditengah perbincangan dan canda-tawa bersama.

***
Petualangan dimulai disini,
rutenya Gunung Puntang-Situ Cilenca-Cisewu-Rancabuaya-Pamengpek-dst…

***
Setelah berpisah dari teman-teman D’Raptor,  gas selow mengikuti jalan saja. Tidak butuh waktu lama ternyata sudah sampai di Situ Cilenca.


Cukup mengambil beberapa gambar di Situ Cilenca, aku lanjutkan perjalanan sejauh 74 km, begitu dari rambu jalan yang tadi aku lewati bilamana hendak ke tujuan awalku.
74 km itu sama dengan jarak Cirebon-Cibereum, prediksiku sekitar kurang-lebih 2 jam, karena sedikit info tadi katanya jalan berkelok turunan dan tanjakan.
Eh Ternyata jadi molor 3 jam, terpesona pada view yang ada pada desa setelah Situ Cilenca yang mirip sekali dengan view seperti di DOMPU, NUSA TENGGARA.

Lebih jauh setelah puas menikmati desa Cisewu yang ternyata juga adalah tempat wisata kuliner di depan, namun  terjadi longsor.

Kejadian longsor itu sendiri saat aku tiba, sudah penuh kendaraan yang juga sudah ada tindakan untuk membuka jalan.

Dan akhirnya selang 15 menit jalan yang longsor sudah bisa dilalui lagi.

Sempat terjadi insiden kecil disini, karena tanah merah yang diguyur air menjadi begitu licin membuat beberapa yang lewat tergelincir termasuk ‘ Bee ‘ .

‘Bee’ jatuh karena rem belakang yang ku injak membuat ban belakang kehilangan keseimbangan, untunglah jatuh-nya cantik, karena, sebelum bee jatuh, aku sudah melompat duluan.

Lanjut gas .. Perjalanan menjadi membosankan karena biasa saja.

***

Baru setelah masuk Rancabuaya , viewnya cantik sekali, mirip seperti di PACITAN, JAWA TIMUR.

Puas bermain di tiga pantai, Rancabuaya; Santolo dan Sayangheulang, saatnya kembali lanjutkan perjalanan pulang ke Cirebon.

***

Lagi-lagi perjalanan ini menjadi begitu berkesan, view selanjutnya yang aku lalui mirip seperti di kota Wisata BATU, Malang dan juga Dieng. Waah benar benar penuntas dahaga kesegaran.

***

Lanjuut….

Sampai GARUT kota, aku sempatkan diri untuk minum air-putih banyak-banyak sambil mengecek signal, dan ternyata ” ada “. Lumayan bisa bikin status dan membalas beberapa chat.

Sumedang adalah tujuanku berikutnya, tapi ternyata dari beberapa orang yang aku temui menyarankan untuk tidak lewat Wado. Karena pernah dan juga lebih baik nurut dengan yang lebih tahu, aku putuskan untuk lewat Nagrek-Rancaekek, meski lebih jauh, tapi pada prinsipnya ‘nikmati saja’.

Ternyata Rancaekek-nya banjir , ‘kadung‘ sudah terjebak, mau-tidak-mau, ikut arus saja….

Air sudah hampir setinggi knalpot ditambah hujan kembali turun. Takut air masuk ke motor, akhirnya mesin aku matikan. Knalpot dibungkus plastik rapat-rapatdan seorang anak kecil yang membantu mendorong ‘bee’.

Selanjutnya, alhamdulilah pulang lancar dan sampai di Cirebon dengan sehat-selamat jam 23.20

Ucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih -sayang dan welas-asih-NYA, Aiptu Djoy yang selalu memonitor kemanapun pergi, Bunda Inuk, om Suparman Tjangra , abang Lois De Failuku, ko Lingga Sym Kesambi, om Dian Herdiana, om KevinArdyanto, om Ersan Suria Pranoto, om Billy B. Afriansyah, om Gerry J Mirza, om Ferry F Satiri, om Jimmy Aleksandria, om Kang Irvan Soebagdja dan semua nya mohon maaf jika tidak ter-sebut.

Terimakasih banyak

Sampai nanti sampai bertemu lagi.

Salam..

 

Abdi Dalem : Wujud Terimakasih Warga Jogja Pada Sultan

Abdi Dalem keraton Yogyakarta -kratonjogja.id

Bangga (senang) menjadi warga Jogja yang masih penuh dengan budaya, masih berdiri megah kraton Jogja atau tepatnya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai kerajaan yang masih aktif keraton Jogja pastinya ada hirarki didalamnya, dan tentunya lazimnya sebagai Kerajaan menganut sistem monarki. Perlu kita ketahui bahwa keraton diproklamasikan pada tanggal 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ). Meskipun dalam perkembangannya keraton tidak lagi sebuah kerajaan yang benar-benar aktif (mempunyai kekuatan penuh) dalam rongrongan penjajah Belanda lambat-laut kekuatan kerajaan/ keraton semakin dipangkas, dan semakin berkurang. Hingga akhirya keraton Jogja tinggal simbolis saja sebagai pengemban budaya. Dan dikala pemerintahan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannnya(17 Agustus1945), selang beberaoa waktu/hari Raja Keraton jogja Sri Sultan HB IX menyatakan dan mengakui kemerdekaan RI  serta keraton Jogja meleburkan diri dalam negara Republik Indonesia.

***

Dan dalam hirarki (sistem tatanan kepemerintahan)  keraton Yogyakarta ada Abdi Dalem , dalam literatur yang ada (kratonjogja.id) Abdi Dalem merupakan aparatur sipil.  Dan Abdi Dalem bertugas sebagai pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan.

Kenapa masyarakat Jogja bangga dan senang menjadi Abdi Dalem yang notabene honornya tidaklah seberapa?

Karena mereka beranggapan dengan menjadi Abdi Dalem adalah untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagiaan batin. Ada juga yang dilandasi oleh rasa terimakasih sudah diperbolehkan tinggal di tanah milik Sultan. Selain itu, faktor lain yang ingin diperoleh dari menjadi Abdi Dalem adalah untuk mendapatkan berkah Dalem. Menurut para Abdi Dalem, ada saja rejeki yang datang dan dapat mencukupi kebutuhan keluarganya setelah menjadi Abdi Dalem(kratonjogja.id)

Yang menjadi ciri khas dari Abdi Dalem Keraton Yogyakarta terletak pada pakaian. Pakaian atau busana khas Abdi Dalem disebut peranakan. Peranakan berasal dari kata ‘diper-anak-kan’. Artinya menjadi Abdi Dalem akan dianggap seolah-olah satu saudara yang dilahirkan dari seorang Ibu. Dan, boleh lah kita menyebutnya pakaian adat Jawa(Jogja) lengkap dengan blangkon baju motif lurik biru, bawahan/jarik dan pendhok/ keris, maka dari itu kita sering melihat dijalanan beberapa warga Jogja mengenakan busana tersebut, mereka lah para Abdi Dalem.

Banyak sisi menarik dari kehidupan Abdi Dalem seoerri bahasa yang mereka gunakan dilingkungan keraton yakni bahasa bagongan, in sya ALLAH saya kupas lain waktu, dan pakaian akan saya coba kupas lebih lanjut.

Ada juga beberapa ketentuan untuk menjadi Abdi Dalem, pembagian Abdi Dalem, dan lain hal tentang Abdi Dalem bisa kita baca di sini .

Anak-anak berpakaian abdi Dalem, “wuih gagahnya”