Workshop Jemparingan Mataraman

Ibu Erlina,KRT H. Jatiningrat, SH, ka kodim Bantul

Ibu Erlina,KRT H. Jatiningrat, SH, ka kodim Bantul

Bertempat di pandapa rumah dinas Bupati Bantul, Minggu (26/02/2017) pagi diadakan ‘workshop’ Jemparingan Mataraman, sebagai rangkaian awal pada acara lomba Jemparingan yag diadakan di Lapangan Trirenggo Bantul.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa kata ‘Jemparingan’ adalah sebuah kosa-kata bahasa Jawa yang berasal kata jemparing yang berarti panah, jadi jemparingan jika di alih bahasa kan ke bahasa Indonesia maka berati panahan.

Panah seperti yang kita ketahui, merupakan sebuah senjata, yang mana dahulunya merupakan salah satu senjata untuk berperang maupun berburu binatang. Tapi kini panah digunakan ata diimplementasikan  sebagai salah satu cabang olah raga di negara kita.

Lalu apa menariknya dari jemparingan ini yang dinamakan Jemparingan Gagrak(gaya) Mataraman?

Workshop jemparingan Mataraman

Workshop jemparingan Mataraman

Dalam ‘workshop’ Jemparingan Gaya Mataraman tersebut yang dibuka oleh Ibu Erlina Hidayati, SIP.MM selaku Kepala Bidang Sejarah,Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY. Dan workshop di jelaskan oleh narasumber yakni KRT H. Jatiningrat, SH selaku kerabat Keraton Yogyakarta dan juga selaku pengajeng Paguyuban Jemparingan Mataraman Gandhewa Mataram Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Menjelaskan panjang lebar mengenai Jemparingan gagrak Mataraman ini secara gamblang, mula dari sejarah berdirnya Keraton(Kamis Pon, 29 Jumadil Awal 1686/ 13 Maret 1755), perjuangan Pangeran Mangkubumi( Sri Sulta HB I) dalam melawan penjajah Belanda hingga penjelasan akan jemparingan yang penuh dengan filosofi yang mana acara lomba Jemparingan ini bertepatan dengan berdirinya keraton yang ke 270.

Dijelaskan oleh KRT H. Jatiningrat, SH, bahwa Jemparingan Gagrak Mataraman pelaksanaan membidik nya tidak dengan mata, namun dengan hati. Jadi pelaksanaannya busur di letakkan di depan dada(bukan di depan kepala) dan posisi vertikal atau mendatar.

“Mata hanya unruk ‘menerke'(mengarahkan, sedangkan membidiknya dengan rasa- atau hati.”

Ini merupakan ajaran dari Sri Sultan HB I, yang terkait dengan meyarukan jiwa, jiwa yang nyawiji yang merupakan tandakomitmen dari sosok Ksatria. Nyawiji=konsentrasi.

Sedangkan filosofi dari Jemparingan ini adalah ” pamenthanging gandewa, pamanthenging cipto”. Yaitu ketika menthang gandewa yang dipakai untuk membidik itu hati, bukan mata. Bisa dikatakan untuk mencapai sasaran, dengan sistem kira-kira. Hal ini dimaksudkan untuk melatih konsentrasi. Gandewa= busur, jemparing= anak panah.

“Ngarso Dalem, Sri Sultan Hamengku Buwono I, kala itu berharap agar para abdi dalem, sederek, keluarga, dan rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat dapat menjadi Satriya, yang memiliki sifat sawiji (konsentrasi), greget (semangat), sengguh (jatidiri) dan ora mingkuh (bertanggung jawab).”

KRT H. Jatiningrat, SH

KRT H. Jatiningrat, SH

KRT H. Jatiningrat, SH, pernah berguru atau menjadi murid dari Sri Paduka Paku Alam VIII(8), namun dikala itu, Sri Paduka mengajarkan dengan gagrak lain, yakni memanah dengan berdiri dan sasarannya berbentuk lingkaran seperti dalam  panahan pada umumnya saat ini.

Beda panahan atau jemparingan gagrak Mataraman dengan panahan lain pada umumnya adakah disamping posisi pemanah mesti duduk bersila, juga  bentuk dari target atau sasarannya. Sasaran berjarak kurang lebih 35 meter dari pemanah tersebut  berwujud ‘wong-wongan’ atau orang-orangan, terbuat dari kain yang digulung, namun ukurannya cukup kecil sebesar pipa pralon 1/2 ” dan terdiri dari 3 bagian, yaitu mala/ Makutha(yang paling atas warna merah), jangga (leher warna kuning), baten (badan-warna putih), yang palin bawah bereujud bola yang disebut ‘bol’.

Ketika mengenai bagian paling atas maka mendapat poin 3, kalau mengenai bagian leher mendapat poin 2 dan kalau hanya mengenai bagian badan, poinnya hanya 1. Tapi poin akan hilang satu jika anak panah mengenai bola atau bagian paling bawah dari target yang dinamakan bol tadi.

Pelaksanaan jemparingan berlangsung selama 20 ronde(tahapan), dan setiap ronde(tahapan) peserta melepaskan sebanyak 4 anak panah.

Pemanah dalam posisi duduk bersila, dengan busana Jawa Mataraman, posisi busur horisontal sejajar dengan dada.

KRT H. Jatiningrat, SH, Ibu Erlina Hidayati, SIP, MM, Dandim Bantul

KRT H. Jatiningrat, SH, Ibu Erlina Hidayati, SIP, MM, Dandim Bantul

mg_6511.jpg